The Thinning (2016): Movie Review



Film ini masuk dalam kategori thriller, walaupun menurut saya ini merupakan suatu cerita khayalan yang bisa juga dimasukkan dalam kategori fiksi. Bukan film yang sempurna, dan juga bukan termasuk film dengan bintang besar sehingga membuat film ini mendapatkan penilaian yang sedang-sedang saja. Tetapi cukup menghibur bila kita melihat dari alur cerita yang tidak pernah diangkat di layar lebar sebelumnya.

 ‘The Thinning’ mengangkat sebuah cerita yang fresh yaitu mengenai populasi yang berlebihan di semua belahan dunia. Di Amerika sendiri, setiap negara bagian mempunyai solusi yang berbeda. Ada yang melakukan pengetatan kelahiran atau jumlah anak, sedangkan negara bagian lainnya menjalankan sistem hanya yang pintar yang boleh hidup. Film ini menceritakan program yang kedua.


Cerita dimulai beberapa murid di sekolah yang sedang dalam persiapan ujian negara. Ujian ini sangat penting artinya bagi para murid. Hasil ujian yang menentukan apakah mereka bisa melanjutkan hidup mereka atau tidak. Bila mereka gagal, maka mereka akan masuk dalam tahanan dan akan diinjeksi mati.

Tetapi tentu saja, semua hal yang berhubungan dengan pemerintahan, akan kembali kepada kepentingan politik dan korupsi. Tidak ada sistem yang sempurna dan tidak ada besi yang tidak bisa dibengkokkan. Begitu pula, sebuah sistem yang dianggap sempurna, bahkan lebih sempurna daripada membatasi jumlah anak, akhirnya disalahgunakan juga.

Kebobrokan sistem ini terbongkar karena anak Gubernur yang bernama Blake (Logan Paul) berpacaran dengan seorang murid wanita yang tidak disetujui oleh sang ayah. Si ayah sangat mengharapkan anaknya mau fokus pada pendidikannya, daripada pacaran. Dan dia menganggap pacarnya hanya memberikan dampak yang buruk. Secara diam-diam, sang ayah menyuruh kepala pengawas ujian untuk mengubah nilai dari pacarnya Blake. Seharusnya lulus menjadi tidak lulus. Tentu saja, karena perubahan nilai tersebut membuat pacarnya dihukum mati.

Dia meminta kepada ayahnya untuk membantu pacarnya agar dibebaskan dari hukuman. Tetapi sang ayah menolak dengan mengatakan bahwa dia harus memegang prinsip dan menjunjung peraturan sebagai seorang Gubernur.

Blake yang awalnya tidak mengetahui bahwa ayahnya yang membuat pacarnya dihukum mati, dia merasa kesal karena ayahnya tidak mau membantu dan lebih memilih peraturan daripada kepentingan anaknya. Diapun merencanakan untuk membuat dirinya sendiri tidak lulus dengan menjawab pertanyaan secara asal-asalan di ujian berikutnya. Dia ingin tahu apakah benar ayahnya menjunjung tinggi peraturan dan berani membiarkan anak satu-satunya dihukum mati.

Tentu saja sang Gubenur tidak akan membiarkan anaknya dihukum mati. Diapun mengubah nilai yang tidak lulus menjadi lulus. Tetapi sebagai konsekuensinya harus ada yang dikorbankan. Nilai hanya bisa ditukar, tidak bisa diganti begitu saja. Kepala pengawas ujian menukar nilai ujian Blake dengan Laina Michaels (Peyton List). Dan itu sebuah kesalahan yang besar karena Laina Michaels dikenal sebagai murid yang pintar. Bahkan dia juga bekerja paruh waktu untuk menjadi guru privat.

Dengan tidak lulusnya Laina membuat gurunya menjadi heran dan yakin ada kesalahan pada sistem. Tetapi pada saat dikonfirmasi ke kepala pengawas, dia mengatakan tidak ada kesalahan. Gurunya akhirnya membantu Laina untuk lari dari penjaga yang akhirnya bertemu dengan Blake. Mereka berdua harus mencari bukti bagaimana Laina bisa gagal dalam ujian. Apakah mereka berhasil? Ada motif apa sehingga dijalankannya sistem hukuman mati tersebut?

Film ini adalah proyek layar lebar pertama dari sutradara dan penulis Michael J. Gallagher. Sebelumnya dia hannyalah seorang sutradara, penulis dan produser dari film pendek dan seri televisi. Sehingga masih bisa dimaklumi proyek pertama ini tidak mendapatkan tanggapan yang hangat dari pengamat film Hollywood. Apalagi, pemeran dalam film ini juga diambil dari pemain kelas B yang berpengalaman dalam serial televisi seperti Logan Paul dan Peyton List. Pengalaman mereka berakting masih jauh dari sempurna.

Kelemahan yang utama dari film ini adalah kurangnya kualitas akting dari pemeran utama. Emosi dan ketakutan menghadapi kematian tidak dapat dikeluarkan dengan baik oleh para pemain. Sehingga membuat alur cerita yang bagus, menjadi terasa biasa-biasa saja. Seharusnya, bila pemeran utamanya dapat membangun emosi, saya yakin film ini bisa menghasilkan film yang bagus.

Penulisan naskah film juga sangat berpengaruh dalam kenyamanan dalam menonton sebuah film. Bila bahasa yang diucapkan terlalu baku dan kurang fleksibel, membuat suasana menonton menjadi terganggu.

Sayang sekali, sebenarnya alur cerita dari film ini cukup bagus dan original. Tetapi sutradara gagal memasukkan emosi dan pengarahan akting yang bagus bagi para pemeran utama. Tetapi masih cukup bila hanya untuk hiburan ringan.


***

No comments:

Post a Comment